Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti – Pada masa jayanya, kerajaan Mataram adalah sebuah kerajaan besar yang berhasil menguasai tanah Jawa hingga mencapai daerah Madura. Akibat konflik internal serta pengaruh VOC, sebuah firma dagang dari Belanda dengan politik adu dombanya, akhirnya Kerajaan Mataram terpecah. Mataram terbagi atas dua bagian, pembagian ini secara jelas disebutkan dalam perjanjian Giyanti.

Sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 M, di Giyanti, Karanganyar ini membentuk dua kerajaan baru, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Terbentuknya dua kerajaan baru ini menandai berakhirnya dominasi kerajaan Mataram di tanah Jawa.

Perpecahan terjadi sebagai akibat adanya perseteruan antara tiga anggota kerajaan, yaitu Pakubuwono II. Pangeran Mangkubumi dan pangeran Sambernyawa. Masing-masing pihak merasa berhak untuk menjadi raja Mataram. Namun, campur tangan VOC menjadikan semuanya hancur. Kerajaan Mataram terpecah menjadi, kesultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.


Latar Belakang Terbitnya Perjanjian Giyanti

Latar Belakang Terbitnya Perjanjian Giyanti

Sejarah panjang kerajaan Mataram dengan segala pergolakannya menjadi latar belakang terjadinya perjanjian Giyanti. Dimulai dari sejak kedatangan bangsa Belanda di tanah Jawa yang awalnya hanya untuk berdagang. Kongsi dagang bernama VOC lambat laun mulai mempengaruhi dan terlibat dalam konflik internal raja-raja.

Bahkan pengaruh VOC ini sampai menentukan proses pergantian kepemimpinan tahta kerajaan. Hingga akhirnya menimbulkan pemberontakan dari dalam. Pemberontakan yang dipimpin oleh RM Said atau Pangeran Sambernyawa menyebabkan Sultan Pakubuwono II mengadakan kesepakatan bersama VOC. Kesepakatan yang akhirnya membuat runtuh kerajaan Mataram.

Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Pakubuwono II awalnya ingin memerangi pangeran Sambernyawa, tetapi karena berselisih dengan Pakubuwono, akhirnya berbalik membantu pemberontak untuk melawan VOC yang mulai menguasai Mataram. Saat perang berkecamuk, Pakubuwono II wafat.

Sebelum meninggal, Pakubuwono memberi kekuasaan kepada VOC untuk menjaga dan mengintervensi pengangkatan raja baru.Mataram. Setelah raja meninggal, VOC mengangkat putra mahkota menjadi raja bergelar Pakubuwono III. Pangeran Mangkubumi pun diakui dan didaulat rakyat menjadi raja pengganti dengan gelar yang sama.

Sementara itu pemberontakan tetap berkobar. Pasukan VOC yang dipimpin Mayor De Clerx akhirnya dapat dijebak dan dibinasakan. Keadaan ini mencemaskan para petinggi VOC dan kerajaan Belanda.

Pemberontakan terus melebar di sepanjang pesisir utara Jawa atas inisiatif pangeran Mangkubumi. Dalam waktu bersamaan, antara pangeran Mangkubumi dan RM Said terjadi perpecahan. Ini disebabkan karena pangeran Mangkubumi yang mengincar tahta kerajaan takut kalah persaingan.

VOC dibawah kendali Nicholas Hartingh melihat pasukannya banyak berjatuhan dan adanya perpecahan itu lalu mengajukan gencatan senjata. Kedua belah pihak sepakat untuk berdamai. Melihat adanya kesepakatan antara Mangkubumi dan VOC, pangeran Sambernyawa atau RM Said menjadi berang. Kesepakatan itu dinilai sebagai bentuk intervensi VOC atas Mataram dan pengkhianatan Mangkubumi.

Perpecahan antara Pakubuwono III dan Mangkubumi juga tak dapat dielakkan lagi. Akhirnya pada bulan Februari tahun 1755 keduanya disatukan dalam satu perjanjian yang disebut sebagai perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membentuk dua kerajaan baru, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta yang berada di wilayah Mataram Barat dan kasunanan Surakarta yang berada di Mataram Timur. Kesultanan Ngayogyakarta diberikan kepada pangeran Mangkubumi dan kasunanan Suarakarta diberikan kepada Pakubuwono III.


Peran VOC dalam Perjanjian Giyanti

Peran VOC Dalam Perjanjian Giyanti

Kongsi dagang dari negeri Belanda ini berperan sangat besar dalam proses terjadinya perjanjian Giyanti. Sebagai pendatang yang ingin menguasai sepenuhnya tanah Jawa, VOC melakukan politik adu domba dalam memecah kekuatan yang ada di kerajaan Mataram. Di antara ke tiga pewaris tahta, anak sulung Amangkurat IV yang menentang keterlibatan VOC dibuang ke Srilanka.

VOC kemudian menaikkan pangeran Prabasuyasa sebagai pengganti raja ketika raja wafat. Gelar yang disematkan uaitu Sultan Pakubuwono II. Pangeran Mangkubumi sebagai anak ketiga merasa berhak juga menjadi raja. Begitu pun dengan pangeran Sambernyawa yang merupakan anak dari putra sulung Amangkurat IV. Perselisihan di antara ketiganya terus berlanjut.

Sebelum Pakubuwono meninggal, VOC berhasil mendesak untuk memberi kekuasaan besar kepada VOC dalam menentukan raja berikutnya. Hal ini ditentang oleh pangeran Mangkubumi dan pangeran Sambernyawa. Kemudian keduanya melakukan pemberontakan. Politik memecah belah rakyat (Devide et impera) merupakan politik andalan VOC dalam menaklukkan wilayah-wilayah di nusantara.


Isi Perjanjian Giyanti

Isi Perjanjian Giyanti

Kerajaan Mataram, dalam perjanjian Giyanti terpecah dalam dua bagian. Berikut adalah ketentuan yang mengatur segala sesuatu tentang posisi raja yang baru.

Pasal 1

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separo dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

Pasal 2

Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

Pasal 3

Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.

Pasal 4

Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

Pasal 5

Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

Pasal 6

Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

Pasal 7

Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.

Pasal 8

Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.

Pasal 9

Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749


Dampak Perjanjian Giyanti

Dampak Perjanjian Giyanti

Perjanjian yang disusun di Giyanti ini tidak langsung berdampak peperangan. Pangeran Sambernyawa tetap melakukan perlawanan. Hal ini disebabkan tidak dilibatkannya pangeran Sambernyawa dalam proses perjanjian. Bahkan sang pangeran menganggap adanya perjanjian itu sebagai bentuk persekongkolan Mangkubumi dan VOC.

Namun, karena sebagian besar rakyat sudah tunduk akibat adanya perjanjian itu, maka pemberontakan dapat ditumpas. Pangeran Sambernyawa pun akhirnya menyerah pada perjanjian Salatiga yang memberinya kekuasaan di sebagian wilayah kasunanan Surakarta. Wilayah yang disebut dengan Mangkunegaran. Pangeran Sambernyawa sendiri bergelar Mangkunegara I.

Setelah perjanjian ini dibuat, kekuasaan VOC semakin besar dan kuat. Hampir seluruh wilayah yang dikuasai Mataram takluk. Dengan kata lain VOC berhasil menguasai seluruh Jawa. Hal ini berlangsung lama, sampai bangkitnya bangsa ini untuk meraih kemerdekaannnya.

Begitulah proses terjadinya perjanjian Giyanti yang menandai keruntuhan kerajaan sebesar Mataram. Intrik dari dalam kerajaan serta pengaruh VOC dalam memecah belah rakyat, berhasil membuat kerajaan itu hancur. Pada akhirnya VOC yang mengambil banyak keuntungan dari perselisihan antar anggota keluarga kerajaan dan semakin berkibar kekuasaannya di seluruh tanah Jawa.

Scroll to Top