Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem Royen – Penandatanganan perjanjian menjadi bagian yang penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam setiap perjanjian yang dibuat terdapat upaya-upaya atau strategi dari bangsa Indonesia untuk merdeka.

Salah satu perjanjian yang terkenal yaitu Perjanjian Roem Royen. Di artikel ini, akan dibahas mengenai sejarah dari perjanjian tersebut.


Selayang Pandang Perjanjian Roem Royen

Selayang Pandang Perjanjian Roem Royen

Perjanjian ini ditandatangani pada 7 Mei 1949 bertempat di sebuah hotel bernama Des Indes di Jakarta. Adapun lebih jelasnya, perjanjian ini merupakan upaya lanjutan dari perjanjian Renville yang dianggap gagal menyelesaikan sengketa antara Indonesia dengan Belanda. Perundingan sebelum melahirkan perjanjian ini telah dilakukan sejak tanggal 14 April 1949.

Roem Royen sendiri diambil dari gabungan dari nama dua tokoh ketua negosiator Moh. Roem (dari Indonesia) dan Jan Herman van Royen (dari Belanda). Selain itu, perjanjian ini juga menjadi salah satu reaksi dari pihak internasional yang diwakili oleh Amerika Serikat agar Indonesia dan Belanda segera menyelesaikan masalah persengketaan mereka.

Selain itu, perjanjian juga menjadi cikal bakal terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Nantinya, KMB ini akan mengantarkan Indonesia untuk mendapatkan kembali kedaulatannya. Oleh sebab itu, perjanjian ini memberikan konstribusi dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.


Latar Belakang Perjanjian

Latar Belakang Perjanjian

Perjanjian Roem Roeyen muncul sebagai reaksi dari gagalnya perjanjian Renville pada tahun 1948. Adapun perjanjian tersebut membahas mengenai pembagian wilayah kekuasaan Republik (Indonesia) dan Kerajaan Belanda. Pada saat itu, terdapat Agresi Militer Belanda II yang mengawali pecahnya pertempuran antara Indonesia dan Belanda untuk yang kesekian kalinya.

Di agresi militer tersebut, Belanda bermaksud untuk merebut wilayah Yogyakarta dari Republik Indonesia. Selai itu, juga terdapat beberapa kasus penculikan dan penahanan beberapa orang-orang penting dari Republik.Dari sini, Amerika Serikat sebagai mediator mengecam Belanda untuk melakukan komitmen seperti yang terdapat dalam isi perjanjian Renville.

Pun begitu, Belanda masih bersikukuh untuk terus meluaskan wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, Indonesia yang saat itu merasa dirugikan karena wilayah kekuasaannya semakin sempit, juga sempat tidak ingin melakukan perundingan ulang dengan Belanda dalam bentuk apapun.

Namun, setelah Amerika Serikat mengancam bahwa akan menarik semua bantuan mediasinya, Belanda dan Indonesia kemudian sepakat untuk merundingkan kembali sengketa wilayah kekuasaan mereka. Dari perundingan inilah kemudian lahir sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian Roem Royen.


Tokoh-Tokoh Penting yang Berunding

Tokoh Tokoh Penting Yang Berunding

Dalam perjanjian ini, beberapa tokoh penting baik dari pihak republik dan Belanda hadir dalam pertemuan. Adapun wakil atau delegasi dari pihak Republik diwakili oleh Moh. Roem sebagai ketua, didampingi oleh beberapa anggota. Adapun anggota-anggota tersebut terdiri dari Ir. Djuanda, Dr. Johannes Leimena, Ali Sastro Amijoyo, Pro. Soepomo, dan Mr. Johannes Latuharhary.

Di sisi lain, dari pihak Belanda hadir Dr. Jan Herman van Roijen sebagai ketua. Sedangkan beberapa orang lainnya hadir sebagai anggota. Adapun mereka terdiri dari Peter John Koets, Van Hoogstraten, dr. Gieben, Prof. E. Schuurman, dan Kol. Thomson.

Disisi lain, Horace Merle Cochran turut hadir sebagai pihak internasional yang diwakili oleh Amerika Serikat, sekaligus sebagai mediator kedua belah pihak. Horace sendiri saat itu juga berperan sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Kedua pihak melalui ketua masing-masing memberikan sudut pandang mereka. Namun, keduanya menyinggung mengenai resolusi 67 Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949. Adapun resolusi tersebut membahas mengenai komitmen kedua belah pihak untuk mentaati isi dari perjanjian Renville.


Isi Perjanjian

Isi Perjanjian

Dengan tujuan saling memberi dan saling menerima yang disertai tekad untuk mencari solusi, akhirnya ditandatanganilah Perjanjian Roem Royen. Adapun isi dari perjanjian ini yaitu:

1. Penghentian Seluruh Kegiatan Militer

Semua tentara dari Republik Indonesia diperintahkan untuk menghentikan segala aktivitas militer. Termasuk juga dengan gerilya dan penyerangan terhadap tentara dari Kerajaan Belanda. Begitu pula dengan pihak Belanda yang akan menghentikan semua aktivitas militer dan membebaskan para tahanan dari Republik Indonesia.

Di sini, Republik Indonesia dan Belanda diharuskan menghadiri konferensi selanjutnya yang disebut Konferensi Meja Bundar. KMB nantinya akan direncanakan untuk ditempatkan di Den Haag Belanda pada bulan Agustus hingga November 1949.

3. Pengakuan Belanda

Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian atau kesatuan dari Negara Indonesia Serikat. Selain itu, Belanda juga akan memberikan hak dan kewajiban penuh kepada Indonesia untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Artinya dalam hal ini, Indonesia mendapatkan kedaulatan yang utuh.

4. Pendirian Persekutuan

Di sini, Indonesia dan Belanda sepakat untuk mendirikan suatu persekutuan untuk merekonsiliasi hubungan keduanya. Selain itu, persekutuan ini juga didasari oleh persamaan hak dari kedua belah pihak sehingga bersifat adil. Artinya, Indonesia dan Belanda akan bekerjasama satu dengan lainnya dengan dasar sukarela.


Kondisi dan Posisi Belanda dalam Perjanjian

Kondisi Dan Posisi Belanda Dalam Perjanjian

Dalam perjanjian ini, Belanda mendapat banyak tekanan terutama dari pihak international. Pasalnya, mereka sudah kehilangan alasan dan kesempatan lagi untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia mengingat banyaknya pengawasan dari pihak internasional. Sehingga dalam hal ini, Belanda dan sistem politiknya saat itu dikutuk oleh banyak negara.

Selain itu, pihak Belanda juga dicurigai oleh Amerika Serikat terkait penyalahgunaan bantuan AS yang justru digunakan secara sepihak oleh Belanda untuk perang. Padahal, bantuan tersebut seharusnya ditujukan untuk pembangunan Indonesia atas pengawasan Belanda.

Keadaan terjepit ini kemudian mendorong Belanda untuk secara “terpaksa” menandatangani perjanjiaan Roem Royen. Selain itu, Belanda tidak punya pilihan lain kecuali untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan isi yang telah disepakati.


Dampak dan Konstribusi Bagi Indonesia

Dampak Dan Konstribusi Bagi Indonesia

Seperti yang bisa dilihat, isi dari Perjanjian Roem Royen lebih adil bagi Indonesia dibandingkan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Setelah perjanjian ini ditandatangani, tahanan-tahanan Republik Indonesia dari Belanda pun dilepas. Termasuk juga Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Selain itu, Yogyakarta kemudian dipilih sebagai ibukota sementara bagi Indonesia.

Kehidupan pemerintah Indonesia yang kali ini berpusat di Yogyakarta mulai bergerak dan menjadi normal kembali. Di sisi lain, tentara-tentara Belanda juga ditarik mundur terhitung mulai tanggal 24 hingga 30 Juni 1949 meninggalkan Yogyakarta. Di sini, masyarakat juga dihimbau untuk tidak menjadi provokator di antara kedua belah pihak yang telah menemukan kesepakatan.

Dampak lainnya yaitu absennya kegiatan militer dari kedua belah pihak, baik dari Indonesia dan Belanda. Sehingga dalam hal ini terjadilah gencatan senjata yang dimulai dari daerah Jawa hingga Sumatra. Selain itu, perjanjian ini juga menjadi cikal bakal diselenggarakannya KMB.

Tanggal 2 November kemudian, dilaksanakanlah KMB untuk membahas ulang semua kesepakatan diantara pihak Belanda dan Indonesia. Sebagai hasilnya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de jure pada tanggal 27 Desember 1949. Maka dari itulah, perjanjian Roem Royen ini berhasil mengantarkan Indonesia untuk kembali berdaulat setelah perjanjian-perjanjian sebelumnya gagal.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangat tidak mudah. Meskipun telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka di tahun 1945, Indonesia masih menjadi target penjajahan. Untungnya, dalam hal ini Perjanjian Roem Royen berhasil mengembalikan status Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.

Scroll to Top