Puisi Ibu yang Menyentuh Hati – Gambaran Sosok Ibu Sesungguhnya

Puisi Ibu – Siapa yang tidak tergetar hatinya saat mendengar kata ibu?

Seorang wanita yang rela mempertarukan nyawanya demi membawa kita pada dunia.

Ibu, seorang malaikat yang dikirim dengan banyak kebaikan untuk membantu kita.

Sebagai lambang cinta pertama bagi setiap anak, tidaklah salah jika kita menyampaikan ungkapan sayang kita pada beliau.

Menyampaikan rasa sayang padanya tidaklah harus melalui kata-kata, bisa dengan menuliskannya dalam bentuk puisi akan menjadi suatu hal mengharukan tersendiri.

Beberapa puisi bertema “Ibu” berikut mungkin dapat menjadi referensimu dalam mengungkapkan rasa sayang kepadanya.

[lwptoc]

Kulihat Wajah Malaikat

Kucium seuntai tangan yang selalu kuat menopangku
Kulihat wajah malaikat dalam raut wajahnya
Kurasa damai dalam peluknya

Kusulam sejuta rindu pada hasrat membudak
Ku tata apik baur sendu dalam iring kalbu yang lalu

Kini terlunas sudah rindu sendu yang menghujan
Kusembahkan bakti tulusku untuknya
Teruntuk permata terindah dalam urutan kisahku
Panutan santun tingkah hidupku
Penopang lelah dalam juta giatku
Kepulangan ternyenyak dalam berjuta singgahan

(Nur Hafizqi)

Dalam puisi diatas, penulis mengungkapkan keagungan sosok ibu.

Ibu digambarkan dalam banyak hal yang berharga.

Pada awal puisi kita dapat menemukan ungkapan kerinduan penulis, tetapi pada akhir berisi keharmonisan saat telah bertemu dengan sang ibu.

Puisi di atas bermaksud menyampaikan pesan agar kita senantiasa berbakti pada ibu.

Senduhan Bidadari

Mentarinya masih padam
Senyumnya telah pudar
Maaf tak lagi mampu ku peluk ragamu dalam luka senja tadi
Aku ingin
Namun jarak memenjarakanku
Aku leha sejenak bidadariku
Bukan ku suka bungkammu
Andai tangismu berdialog
Boleh ku pinta ia membujuk jarak tuk tak lagi menghadang
Aku kenal betul bidadariku
Menangislah bila sungguh perih
Ku tawar tawa sedang aku pun meringis perih
Menangislah
Tapi jangan terlarut
Kembalikan senyum bidadariku
Bersamaan nyala mentari tanpa senja esok

(Nur Hafizqi)

Puisi di atas mengungkapkan kerinduan.

Juga jarak yang menghalangi untuk menghibur ibunya saat sedih.

Walau berjauhan, penulis tetap berusaha untuk dapat menghibur ibunya, walau usaha menyemangati yang dilakukan sebatas kata-kata.

Malaikat Ku

Sembilan bulan aku memarasiti tubuhmu
Melelahkanmu dengan beratku
Sembilan bulan kau bawah aku kemanapun engkau pergi
Kini usia ku beranjak belasan tahun
Namun kasihmu tak sedikitpun kurasa berbeda
Jemari mu tak selalu mampu kugenggam
Namun bait doa tak henti ku pinta untukmu
Malaikat ku
Malaikat hidup serta permata hatiku
Pengobat risau setelah Tuhanku

(Nur Hafizqi)

Puisi diatas menggambarkan kasih ibu yang sepanjang masa.

Puisi diatas juga mengisahkan pengorbanan ibu yang mengandung selama 9 bulan.

Ibu dalam puisi di atas digambarkan seperti malaikat dalam hidup penulis.

Bidadari Berkerudung

Semua wanita sama bukan
Mereka semua elok, anggun, menawan serta hangat disuguhan pelupuk mata
Dari keseluruhan yang sama itu kutemukan dia yang berbeda
Senyum manisnya yang dahulu selalu jadi suguhan hangat disetiap pagi ku buka mata
Sapuan jemari lembutnya yang menyiapkan ragaku menjajaki jarak-jarak bumi

Ya, dia wanitaku
Ya, dia milikku
Keelokannya katanya tak serupa mudanya dahulu
Katanya dia mulai menua namun bagiku dia tetap wanitaku yang dahulu
Wanita yang kunanti senyumnya dalam sarapan pagiku
Tempat berbagi saat tak sebutirpun penghuni semesta disisiku

Dia wanitaku
Bidadari yang tak bersayap
Tak pula berselendang pink namun berkerudung
Dia ibuku

(Nur Hafizqi)

Puisi di atas berisi ungkapan pujian penulis.
Bagi penulis ibunya akan tetap indah dan cantik kapanpun.
Penulis juga menggambarkan sosok ibu yang selalu ada untuknya.
Dapat dikatakan dalam puisi di atas, penulis berusaha mengisahkan keharmonisannya dengan sang ibu.

Bersama Ibu

Menjadi yang terindu dalam lembaran pertahun
Menjadi yang ternanti pada mula perpisahan
Selain ramadhan
Kini ibu menempati ruang terinduku pasca ramadhanku

Ramadhan lalu
Aku masih terlalu manja bukan bu?
Dan kini jarak menghadir ditengah sambutan ramadhan kita
Aku masih ingin memeluk ramadhan berdampingan denganmu

Menjadi si kecil yang ini itu denganmu
Bak cambuk ditengah rehatanku
Ramadhan kemarin adalah kebersamaan terakhir kita
Ramadhan terakhir keluarga kita

Pascanya kini
Rumahmu dan rumah ayahku sudah berspasi dan memuat kata baru
Labirinnya berliku
Mencipta ramadhan baru pada lembar hidupku

(Nur Hafizqi)

Berbeda dengan puisi sebelumnya, puisi di atas justru berisi ungkapan kerinduan yang dirasakan penulis pada ibunya.

Penulis mengisahkan masa ramadhan yang tidak lagi dilalui bersama sang ibu tercinta.

Dari beberapa puisi di atas sudah adakah yang mampu menjadi referensimu untuk segera menulis puisi untuk ibumu?

Sebagai seorang anak, kita haruslah bersyukur atas kehadiran beliau disisi kita.

Berkat doanya segala hal yang kita lalui di dunia akan menjadi lebih mudah.

Scroll to Top